085227902020 kami kontraktor lapangan futsal bukittinggi kami
kontraktor lapangan futsal siap membantu pekerjaan pembuatan lapangan futsal
diseluaruh wilayah di Indonesia dengan harga terjangkau dan menyuesuaikan
keuangan anda. Kami siap melayani pembuatan lapangan futsal di kontraktor
lapangan futsal di bandung, kontraktor
lapangan futsal Surabaya, kontraktor
lapangan futsal Jakarta, kontraktor
lapangan futsal murah, kontraktor lapangan futsal medan, kontraktor lapangan
futsal bandung, kontraktor lapangan utsal di Surabaya, kontraktor lapangan
futsal di bali, kontraktor lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan futsal Makassar,
kontraktor lapangan futsal bali, kontraktor lapangan futsal Banjarmasin, kontraktor
lapangan futsal di semarang, kontraktor lapangan futsal di Jakarta, kontraktor
lapangan futsal di medan, kontraktor lapangan futsal di Makassar, kontraktor
lapangan futsal di pekanbaru, biaya pembuatan lapangan futsal jogja, kontraktor
lapangan futsal di jogja, pembuat lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan
futsal lampung, kontraktor lapangan futsal malang, kontraktor lapangan futsal
di malang, pembuat lapangan futsal di Makassar, kontraktor lapangan futsal
pekanbaru, kontraktor lapangan futsal Palembang, kontraktor lapangan futsal
purwokerto, kontraktor lapangan futsal di padang, kontraktor lapangan futsal
semarang, kontraktor lapangan futsal samarinda
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi
masyarakat Agam Tuo. Kemudian setelah kedatangan Belanda, kota ini menjadi kubu
pertahanan mereka untuk melawan Kaum Padri.[6] Pada tahun 1825, Belanda
mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di dalam kota ini. Tempat
ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat
peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam
ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota),[7]
dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling
Oud Agam.[8]
Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai
pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan
sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan
militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9]
Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi
Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan
nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang,
Batu Taba, dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam
wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan
sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad
Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan
kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni
1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota
Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember
1948 kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta
jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela
Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember
2006.[11][12]Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi kota besar berdasarkan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar
dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi
wilayah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau sekarang.Dalam
rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di
sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu
Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang,
Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang.[14]
Namun, sebagian masyarakat di nagari-nagari tersebut menolak untuk bergabung
dengan Bukittinggi sehingga, peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat
dilaksanakan.[15]
Geografi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang
membujur sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu
Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941
meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu
berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara itu, dari total luas wilayah Kota
Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan
budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.Kota ini memiliki topografi
berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah
perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin,
Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang,
Bukit Paninjauan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lembah yang dikenal
dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang di
dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari
berubahnya peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi
Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat
mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama
Loih Galuang.
Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi
Sumatera Barat, dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah
angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya
merupakan pengangguran.[16] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun
terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya
pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka diizinkan pemerintah Hindia-Belanda
membangun toko/kios pada kaki bukit Benteng Fort de Kock, yang terletak di
bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan
nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah
utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung
Keling.
Sejak tahun 1918 Kota Bukittinggi telah berstatus
gemeente,[17] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2
km².[18] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas.
Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas
wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun
Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh
Kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang
batas wilayah masih berlanjut,[19] ditambah setelah keluarnya Peraturan
Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi
dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah Kota
Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukkan beberapa nagari
yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi
Kota Bukittinggi.[20]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang
memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali
penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan
wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke
dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya
penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada
dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah
heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan
kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar