085227902020 kami kontraktor lapangan futsal di damasraya kami
kontraktor lapangan futsal siap membantu pekerjaan pembuatan lapangan futsal
diseluaruh wilayah di Indonesia dengan harga terjangkau dan menyuesuaikan
keuangan anda. Kami siap melayani pembuatan lapangan futsal di kontraktor
lapangan futsal di bandung, kontraktor
lapangan futsal Surabaya, kontraktor
lapangan futsal Jakarta, kontraktor
lapangan futsal murah, kontraktor lapangan futsal medan, kontraktor lapangan
futsal bandung, kontraktor lapangan utsal di Surabaya, kontraktor lapangan
futsal di bali, kontraktor lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan futsal Makassar,
kontraktor lapangan futsal bali, kontraktor lapangan futsal Banjarmasin, kontraktor
lapangan futsal di semarang, kontraktor lapangan futsal di Jakarta, kontraktor
lapangan futsal di medan, kontraktor lapangan futsal di Makassar, kontraktor
lapangan futsal di pekanbaru, biaya pembuatan lapangan futsal jogja, kontraktor
lapangan futsal di jogja, pembuat lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan
futsal lampung, kontraktor lapangan futsal malang, kontraktor lapangan futsal
di malang, pembuat lapangan futsal di Makassar, kontraktor lapangan futsal
pekanbaru, kontraktor lapangan futsal Palembang, kontraktor lapangan futsal
purwokerto, kontraktor lapangan futsal di padang, kontraktor lapangan futsal
semarang, kontraktor lapangan futsal samarinda
Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola
I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang
mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa
Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli
adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi
perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati
Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1
bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca
tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian,
yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut raja Swarnabhumi
bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman
hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa.
Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.Dharmasraya dalam Pararaton
merupakan ibu kota dari negeri bhumi malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja
dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan
besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun
bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak
menyebutnya dengan jelas.Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja
pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya
sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit
kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan
tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Cina [2] disebutkan bahwa
pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan
San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong
(Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja
dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”.
Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum
pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan
tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. Karena
sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada
prasasti Grahi.
Daerah kekuasaan DharmasrayaDalam naskah berjudul Zhufan Zhi
(???) karya Zhao Rugua tahun 1225[3] disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi
memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya
atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan
(Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya),
Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu
sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai
Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri,
daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to
(Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari
Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Dalam naskah-naskah kronik Cina, istilah San-fo-tsi
digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Namun pada zaman Dinasti
Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. Namun ketika
Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap
dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina, yaitu kedatangan utusan San-fo-tsi ke
Cina pada periode 1079 dan 1088.[4]Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao
disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina
yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari
putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227
tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian dilanjutkan pengiriman
utusan selanjutnya tahun 1088.
Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut
tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat
itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula
bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau
Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah
Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan
Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah
San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan
sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah
menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.Dalam Kidung Panji
Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan
utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang
dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang. Kemudian pada tahun 1286
Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang
kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibu kota bhumi
malayu, sebagai hadiah dari Kerajaan Singhasari. Tim ini kembali ke Pulau Jawa
pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang
bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahi oleh Raden
Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan
ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahi
oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan
Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman,[5] dan kelak
menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar di pedalaman
Minangkabau.[6]
Dalam Kitab Nagarakretagama
Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut
bhumi melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan
Majapahit.[7] Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah
"wilayah" kerajaan Majapahit yang harus mengantarkan upeti ini masih
kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339
Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus
melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang[2].
Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai
bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun
1343[8]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan
Adityawarman[5].
Dari Dharmasraya ke MalayapuraSetelah membantu Majapahit
dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka,
Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat
Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan
kerajaannya dengan nama Malayapura.[9] Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasraya ke
daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso)[10]. Dengan melihat gelar yang
disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah
dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli
penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah
seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa
Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk
mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.Walaupun ibu kota
kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, Dharmasraya tetap
dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusnya berubah menjadi
raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di
Kerinci yang diperkirakan ditulis pada zaman Adityawarman[11].
Daftar Raja Dharmasraya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar