085227902020 kami kontraktor lapangan futsal di kayakkumbuh kami
kontraktor lapangan futsal siap membantu pekerjaan pembuatan lapangan futsal
diseluaruh wilayah di Indonesia dengan harga terjangkau dan menyuesuaikan
keuangan anda. Kami siap melayani pembuatan lapangan futsal di kontraktor
lapangan futsal di bandung, kontraktor
lapangan futsal Surabaya, kontraktor
lapangan futsal Jakarta, kontraktor
lapangan futsal murah, kontraktor lapangan futsal medan, kontraktor lapangan
futsal bandung, kontraktor lapangan utsal di Surabaya, kontraktor lapangan
futsal di bali, kontraktor lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan futsal Makassar,
kontraktor lapangan futsal bali, kontraktor lapangan futsal Banjarmasin, kontraktor
lapangan futsal di semarang, kontraktor lapangan futsal di Jakarta, kontraktor
lapangan futsal di medan, kontraktor lapangan futsal di Makassar, kontraktor
lapangan futsal di pekanbaru, biaya pembuatan lapangan futsal jogja, kontraktor
lapangan futsal di jogja, pembuat lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan
futsal lampung, kontraktor lapangan futsal malang, kontraktor lapangan futsal
di malang, pembuat lapangan futsal di Makassar, kontraktor lapangan futsal
pekanbaru, kontraktor lapangan futsal Palembang, kontraktor lapangan futsal
purwokerto, kontraktor lapangan futsal di padang, kontraktor lapangan futsal
semarang, kontraktor lapangan futsal samarinda
KETIKA Belanda menginjakkan kaki di ranah Payakumbuh, dengan
membentuk Residensi, Afdeling, Onder Afdeling, Kelarasan, dan Nagari, sebagai
bentuk pemerintahan. Maka, di Payakumbuh yang merupakan bagian dari Afdeling
Luhak Limopuluah, terdapat 13 Kelarasan dengan 13 laras alias “Angku Lareh”.
Lantas, dimana 13 Lareh itu? Dan siapa saja yang pernah menjadi Angku
Lareh-nya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, adalah pantas bila kita
menyimak kembali tulisan Rusli Amran dalam buku Plakat Panjang yang terkenal
itu. Menurut Rusli, Lareh dipimpin oleh seorang Tuanku Lareh (Angku Lareh).
Jabatan ini merupakan jabatan tertinggi para pribumi (satu-satu ada juga kaum
pribumi jadi regent, tapi sedikit jumlahnya.)
Tugas Tuanku Lareh adalah menjalankan perintah dari atas.
Bertanggangung jawab atas keamanan, tanaman paksa kopi, mengerjakan sawah,
menjamin keadaan jalan-jalan maupun jembatan di larasnya. Kecuali itu, Tuanku
Lareh menurut Rusli Amran, harus mengetahui keadaan di daerahnya dan menulis ke
atas, menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu, dan bekerjasama dengan para
penghulu suku.Namun dalam segala sepak terjangnya, Tuanku Lareh harus tunduk
pada setiap pejabat Belanda yang ada di daerahnya. Dalam arti kata, tidak
satupun putusan Tuanku Lareh boleh bertentangan atau tidak mendapat persetujuan
pemerintah Belanda selaku atasannya. Dituliskan Rusli Amran, Tuanku Lareh
mula-mula mendapat penghasilan dari komisi kopi yang dihasilkan di
daerahnya.Selain itu, dia juga mendapat uang saku dari pajak pasar dan pajak
janjang atau pajak tiap rumah-rumah. Namun untuk yang terakhir (pajak
janjang-red) hanya berlaku di sejumlah daerah. Kemudian, Tuanku Lareh juga
memiliki penghasilan tambahan dari kerja sebagai pengangkat kopi di daerahnya.
Bila ditotal, penghasilan Tuanku Lareh setiap bulannya mencapai 60 hingga 80
gulden. Sedangkan gaji seorang Kapalo Nagari sekitar 20 gulden tiap
bulannya.Untuk memperlancar kegiatan dan urusannya, Tuanku Lareh diizinkan
penjajah Belanda memiliki 2 sampai 6 orang pembantu pribadi yang disebut dengan
istilah Jaga. Sementara untuk kegiatan rodi alias kerja paksa, dia bersama 4
anggota keluarganya, dibebaskan atau boleh tidak bekerja.
Masih menurut Rusli Amran, sekitar akhir abad 19 lalu dan
awal abad ke 20, jumlah Lareh banyak sekali, kira-kira 140 (surat Heckler 23
Juni 1906, Mo.2874). Sedangkan jumlah penghulu kepala di tiap Lareh tidak
tentu. Ada Tuanku Lareh yang membawahi 17 Kapalo Panghulu, seperti di Tujuah
Koto Talago, Limopuluah Koto. Ada yang membawahi 10 Kapalo Panghulu, semisal di
Lareh Banuhampu dan Ampek Koto Agam.
Ada pula yang cuma membawahi satu Penghulu Kepala, contohnya
di Lubuakatarab. Malahan, ada yang sama sekali tidak membawahi Penghulu Kepala,
seperti di Ujuang Gadiang dan Sikilang, Pasaman.Khusus di Luhak Limopuluah,
terdapat 13 Lareh, dengan pimpinan Tuanku Lareh. Ketigabelas Lareh ini
membawahi 51 Nagari.Sedangkan sekarang, jumlah nagari di Luhak Limopuluah
mencapai 88 nagari, terdiri dari 78 di Kabupaten Limapuluh Kota, 8 di Kota
Payakumbuh. Sedangkan di daerah V Koto Kampa yang secara adat masuk bagian
Luhak Limopuluah belum dihitung, karena saat ini sudah masuk wilayah
administrasi Provinsi Riau.
Payakumbuh mulai terkenal sejak Perang Paderi berkecamuk di
Ranah Minang. Namun setelah perang itu usai sekitar tahun 1837, nama Payakumbuh
justru tetap dikenal. Toh buktinya, penjajah Belanda yang mendirikan sistem
pemerintahan baru di Sumatera Barat bernama Residensi, tetap memandang penting
Payakumbuh dengan membentuk Afdeling Luhak Limopuluah yang berkedudukan di kota
ini.Residensi sendiri dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di
Padang. Residensi dibagi atas beberapa Afdeling dan Onder Afdeling. Khusus
untuk LuhLimopuluah, dijadikan satu Afdeling yang dikepalai Assiten Residen dan
berkedudukan di Payakumbuh (Baca: Buku 25 Tahun Payakumbuh).
Sedangkan Afdeling Luhak Limopuluah, dipecah menjadi empat
Onder Afdeling. Setiap Onder Afdeling dipimpin oleh seorang bergelar
Controuleur.
Keempat Onder Afdeling di Luhak Limopuluah ialah Onder
Afdeling Payakumbuh, Onder Afdeling Pangkalan Koto Baru, Onder Afdeling Suliki,
dan Onder Afdeling Bangkinang. Kemudian, pada tiap Onder Afdeling terdapat
Nagari yang dikepalai oleh Nagari Hoofd atau Kepala Nagari alias Tuak
Palo.Namun, pada beberapa tempat, ada juga Nagari-Nagari yang justru dugabung
menjadi satu Keselarasan dengan pimpinan Lareh atau Angku Lareh.Semasa ini,
jangankan bertemu dengan Residen, Assisten Residen, Controuleur, atau Lareh
alias Angku Lareh. Bertemu dengan kotoran kuda milik Kepala Nagari alias Tuak
Palo saja, rakyat sudah cemas. Mereka takut akan terjadi apa-apanya.Kembali
pada sistem pemerintahan Penjajahan Belanda, ternyata juga mengalami perubahan.
Sistem Kelarasan dibawah pimpinan Laras alias Angku Lareh, bertukar nama
menjadi Distrik dengan pemimpin bernama Onder Distrik (Baca Buku: Plakat
Panjang Rusli Amran).Pertukaran yang mirip dengan gaya pemerintahan Indonesia
saat menyulap Nagari menjadi Desa dan kembali menjadi Nagari itu, dilakukan
penjajah Belanda sekitar tahun 1913. Belum diketahui apa penyebab paling utama
perubahan sistem pemerintahan ini dilakukan penjajah asal negeri kincir angin
tersebutSetelah nagari-nagari berkembang, lengkap dengan persyaratannya: punya
Masjid, balai adat, jalan, pandam pekuburan, tepian tempat mandi, dan
gelanggang permainan. Maka, sejumlah pemuka masyarakat dan cerdik cendikia
Luhak Limopuluah tempoe doeloe, berkumpul untuk menentukan batas pembagian
ulayat (tahun berkumpul masih dalam penelitian).Dalam pertemuan tersebut,
disepakati, batas-batas alias barih-balobeh Luhak Limopuluah. Lantas, dimanakan
posisi Payakumbuh menurut barih-balobeh itu?
Menjelang pertanyaan di atas dijawab, ada baiknya kita ingat
kembali, petuah tetua tempoe doeloe yang sering diajarkan kepada anak-anak muda
di surau (penulis beruntung pernah merasakannya).Menurut orang tua-tua, yang
dinamakan dengan daerah Luhak Limopuluah ialah daerah yang terletak dari
Sialang Balantak Basi sampai ke Sisauik Sungai Rimbang, hilirnya sampai di
Sipisak Pisau Hanyuik. Dari Durian Ditakuak Rajo sampai ke Siluka Pinang
Tungga. Dari Pinang Mancuang Kulik sampai ke Gunung Sailan Mudiak.Mantan Pucuk
Pimpinan Lembaga Adat Alam Kerapatan Minangkabau (Alm) H Kamardi Rais Datuk
Panjang Simulie, dalam berbagai diskusi dengan penulis, membenarkan hal
tersebut. Bahkan, tokoh tiga zaman ini dengan jelas memaparkan, dimana
daerah-daerah yang disebut dengan Sialang Balantak Basi, Sipisak Pisau Hanyuik,
Sisauak Sungai Rimbang, Durian Ditakuak Rajo, Siluka Pinang Tungga, Pinang
Mancuang Kulik, dan Gunung Sailan Mudiak itu.Mungkin, pada kesempatan lain dan
tulisan yang lain pula, akan kita urai daerah-daerah ini. Sebab sekarang, kita
kembali dulu pada musyawarah niniak mamak dan tokoh-tokoh masyarakat Luhak
Limopuluah di Balai Koto Tinggi, Sitanang Muaro Lakin (sekarang Sitanang jadi
Nagari dalam Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota).
Ternyata, dalam musyawarah tersebut, juga ditetapkan, bahwa
Luhak Limopuluah terbagi atas lima ulayat atau disebut juga dengan Ulayat Limo
Rajo. Masing-masing ulayat dipimpin oleh seorang yang disebut Rajo.
Para Rajo ini hanya didahulukan selangkah, ditingggikan
seranting. Meskipun demikian, mereka memiliki peranan dan menjadi tokoh yang
disegani dalam masyarakat.Adapun Ulayat Limo Rajo itu ialah: Ulayat Rajo di
Hulu (berkedudukan di Situjuah Banda Dalam), Ulayat Rajo di Luhak (berkedudukan
di Aia Tabik Minyak Selabu), Ulayat Rajo di Lareh (berkedudukan di Sitanang
Muaro Lakin), Ulayat Rajo di Ranah (berkedudukan di Talago Gantiang), dan
Ulayat Rajo di Sandi (berkedudukan di Kumbuah Nan Payau), sebagian juga
menyebut di Koto Nan Godang).
Masing-masing ulayat ini dilengkapi pula dengan batas, barih
balobeh ulayat, serta orang-orang kebesarannya. Untuk Ulayat Rajo di Hulu,
sebagai rajanya ialah Datuk Simagayur Nan Mangiang (tapi sebagian ada juga yang
berpendapat Datuk Marajo Simagayur).Untuk Ulayat Rajo di Luhak sebagai rajanya
ialah Datuk Majo Indo Nan Mamangun. Kemudian, untuk Ulayat Rajo di Lareh,
ditetapkan sebagai rajanya Datuk Paduko Marajo. Sedangkan untuk Ulayat Rajo di
Ranah yang menjadi rajanya ialah Datuk Bandaro Hitam. Sementara untuk Ulayat
Rajo di Sandi sebagai rajanya ialah Datuk Parmato Alam Nan Putiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar