085227902020 kami kontraktor lapangan futsal kota padang
kontraktor lapangan futsal siap membantu pekerjaan pembuatan lapangan futsal
diseluaruh wilayah di Indonesia dengan harga terjangkau dan menyuesuaikan
keuangan anda. Kami siap melayani pembuatan lapangan futsal di kontraktor
lapangan futsal di bandung, kontraktor
lapangan futsal Surabaya, kontraktor
lapangan futsal Jakarta, kontraktor
lapangan futsal murah, kontraktor lapangan futsal medan, kontraktor lapangan
futsal bandung, kontraktor lapangan utsal di Surabaya, kontraktor lapangan
futsal di bali, kontraktor lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan futsal Makassar,
kontraktor lapangan futsal bali, kontraktor lapangan futsal Banjarmasin, kontraktor
lapangan futsal di semarang, kontraktor lapangan futsal di Jakarta, kontraktor
lapangan futsal di medan, kontraktor lapangan futsal di Makassar, kontraktor
lapangan futsal di pekanbaru, biaya pembuatan lapangan futsal jogja, kontraktor
lapangan futsal di jogja, pembuat lapangan futsal jogja, kontraktor lapangan
futsal lampung, kontraktor lapangan futsal malang, kontraktor lapangan futsal
di malang, pembuat lapangan futsal di Makassar, kontraktor lapangan futsal
pekanbaru, kontraktor lapangan futsal Palembang, kontraktor lapangan futsal
purwokerto, kontraktor lapangan futsal di padang, kontraktor lapangan futsal
semarang, kontraktor lapangan futsal samarinda
Penduduk Padang sebagian besar berasal dari etnis
Minangkabau.[56] Etnis lain yang juga bermukim di sini adalah Jawa, Tionghoa,
Nias, Mentawai, Batak, Aceh, dan Tamil. Orang Minang di Kota Padang merupakan
perantau dari daerah lainnya dalam Provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1970,
jumlah pendatang sebesar 43% dari seluruh penduduk, dengan 64% dari mereka
berasal dari daerah-daerah lainnya dalam provinsi Sumatera Barat. Pada tahun
1990, dari jumlah penduduk Kota Padang, 91% berasal dari etnis
Minangkabau.[11]Orang Nias sempat menjadi kelompok minoritas terbesar pada abad
ke-19. VOC membawa mereka sebagai budak sejak awal abad ke-17. Sistem
perbudakan diakhiri pada tahun 1854 oleh Pengadilan Negeri Padang. Pada awalnya
mereka menetap di Kampung Nias, namun kemudian kebanyakan tinggal di Gunung
Padang. Cukup banyak juga orang Nias yang menikah dengan penduduk Minangkabau.
Selain itu, ada pula yang menikah dengan orang Eropa dan Tionghoa. Banyaknya
pernikahan campuran ini menurunkan persentase suku Nias di Padang.[57]
Belanda kemudian juga membawa suku Jawa sebagai pegawai dan
tentara, serta ada juga yang menjadi pekerja di perkebunan. Selanjutnya, pada
abad ke-20 orang Jawa kebanyakan datang sebagai transmigran. Selain itu, suku
Madura, Ambon dan Bugis juga pernah menjadi penduduk Padang, sebagai tentara
Belanda pada masa perang Padri. Penduduk Tionghoa datang tidak lama setelah
pendirian pos VOC. Orang Tionghoa di Padang yang biasa disebut dengan Cina
Padang, sebagian besar sudah membaur dan biasanya berbahasa Minang.[57] Pada
tahun 1930 paling tidak 51% merupakan perantau keturunan ketiga, dengan 80%
adalah Hokkian, 2% Hakka, dan 15% Kwongfu.
Suku Tamil atau keturunan India kemungkinan datang bersama
tentara Inggris. Daerah hunian orang Tamil di Kampung Keling merupakan pusat
niaga. Sebagian besar dari mereka yang bermukim di Kota Padang sudah melupakan
budayanya.[58] Orang-orang Eropa dan Indo yang pernah menghuni Kota Padang
menghilang selama tahun-tahun di antara kemerdekaan (1945) dan nasionalisasi
perusahaan Belanda (1958).[57]
Mayoritas penduduk Kota Padang memeluk agama Islam.
Kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau. Agama lain yang dianut di kota
ini adalah Kristen, Buddha, dan Khonghucu, yang kebanyakan dianut oleh penduduk
bukan dari suku Minangkabau. Beragam tempat peribadatan juga dijumpai di kota
ini. Selain didominasi oleh masjid, gereja dan klenteng juga terdapat di Kota
Padang.
Masjid Raya Ganting merupakan masjid tertua di kota ini,
yang dibangun sekitar tahun 1700. Sebelumnya masjid ini berada di kaki Gunung
Padang sebelum dipindahkan ke lokasi sekarang. Beberapa tokoh nasional pernah
salat di masjid ini di antaranya Soekarno, Hatta, Hamengkubuwana IX dan A.H.
Nasution.[59] Bahkan Soekarno sempat memberikan pidato di masjid ini.[60]
Masjid ini juga pernah menjadi tempat embarkasi haji melalui pelabuhan
Emmahaven (sekarang Teluk Bayur) waktu itu, sebelum dipindahkan ke Asrama Haji
Tabing sekarang ini.[61]
Gereja Katholik dengan arsitektur Belanda telah berdiri
sejak tahun 1933[62] di kota ini, walaupun French Jesuits telah mulai melayani
umatnya sejak dari tahun 1834, seiring bertambahnya populasi orang Eropa waktu
itu.[63]
Dalam rangka mendorong kegairahan penghayatan kehidupan
beragama terutama bagi para penganut agama Islam pada tahun 1983 untuk pertama
kalinya di kota ini diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat
nasional yang ke-13.[63]
Pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat telah
menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Meskipun
mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju, namun pemerintahan
Hindia Belanda yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan
itu tidak dapat terawasi secara efektif. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan
warga kolonial menginginkan pemodelan urusan pemerintahannya sebagaimana model
di negeri Belanda sendiri, yaitu sistem kekotaprajaan yang diperintah oleh
seorang wali kota dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk memenuhi
tuntutan tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 1906, berdasarkan ordonansi (STAL
1906 No.151) yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz sistem
pemerintahan desentralisasi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda.Sejak 1 April
1906 termasuk Kota Padang telah berstatus gemeente (kota), yang kemudian
diiringi dengan pembentukan Dewan Kotapraja. Tugas utamanya adalah perbaikan
tingkat kesehatan masyarakat dan transportasi, termasuk penanganan masalah-masalah
bangunan, pemeliharaan jalan dan jembatan serta penerangan jalan-jalan, begitu
pula pengontrolan sanitasi, kebersihan selokan dan sampah-sampah, pengelolaan
persediaan air, pengelolaan pasar dan rumah potong, perluasan kota dan kawasan
permukiman, tanah pekuburan, dan pemadam kebakaran.[64]
Pada tahun 1928 Mr. W.M. Ouwerkerk dipilih sebagai
Burgemeester (wali kota) yang memerintah Kota Padang hingga tahun 1940. Ia
kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya tentara pendudukan Jepang
tahun 1942. Dalam meningkatkan layanan pemerintahan pada tahun 1931 dibangunlah
gedung Gemeente Huis (Balai Kota) dengan arsitektur gaya balai kota Eropa
berciri khas sebuah menara jam yang berlokasi di Jalan Raaffweg (sekarang Jalan
Mohammad Yamin, Kecamatan Padang Barat).
Awal kemerdekaan
Wali Kota Padang kedua Bagindo Azizchan dinobatkan sebagai
Pahlawan Nasional era kemerdekaan.Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr.
Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang dalam negara
kesatuan Republik Indonesia. Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak
zaman Belanda,[65] yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[66] Pada
tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo Azizchan sebagai wali kota kedua,[67]
atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid,[68][69] seiring dengan keadaan negara
dalam situasi darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian pada
tanggal 19 Juli 1947, Belanda melancarkan sebuah serangan militer dalam Kota
Padang. Bagindo Azizchan yang waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh
sewaktu menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan Kota Padang.[70]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar